makalah penelitian sastra angkatan 2005 universitas haluoleo
penulisan makalah ini dibawah bimbingan dosen pengasuh matakuliah Penelitian Sastra Ahid Hidayat

Penampilan atau Ekspresi Tokoh dalam Cerita Rakya Bali “Geguritan I Dukuh Siladri” (Pendekatan Semiotik)

Label:
Oleh: Nilu Geguritan


Abstrak

    Pengenalan pemahaman dan penghayatan peserta didik terhadap nilai-nilai luhur budaya daerah yang menjadi bagian dari kebudayaan nasional adalah amat penting dalam memupuk kepribadian dan kebudayaan bangsa. Apalagi dalam memupuk kepribadian dan kebudayaan bangsa. Apalagi dalam jaman kemajuan IPTEK yang demikian pesat, jangan sampai peserta didik kita terlepas dari akar-akar budaya bangsa. Pengenalan, pemahaman terhadap budaya daerah bukanlah sempit, melainkan untuk memperkaya khasanah budaya nasional, mempererat kesatuan dan persatuan dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika. Hal ini dimaksud dengan mengkaji dan meneliti karya sastra daerah dengan pendekatan-pendekatan tertentu salah satunya adalah semiotik akan dapat mendeskripsikan tokoh dalam cerita sehingga membuka pemahaman dan penghayatan masyarakat atau calon pembaca.
    Masalah pokok dalam penelitian ini adalah bagaimanakah bentuk penampilan atau ekspresi tokoh dalam cerita rakyat Bali.
    Untuk mencapai tujuan dalam  penelitian ini, maka ditetapkan sumber data penelitian yaitu transkripsi dan terjemahan Geguritan I Dukuh Siladri yang merupakan sastra klasik Bali yang diambil dari sebuah lontar milik Gedong Kirlya Singaraja yang dikarang oleh Padanda Nj. Ngoerah yang berasal dari Banjar Teges Cianyar.

1.    PENDAHULUAN
        Pengenalan pemahaman dan penghayatan masyarakat sebagai peserta didik terhadap nilai-nilai luhur budaya daerah yang menjadi bagian dari kebudayaan nasional adalah amat penting dalam memupuk kepribadian dan kebudayaan bangsa. Apalagi dalam jaman kemajuan IPTEK yang demikian pesat. Jangan sampai masyarakat terlepas dari akar-akar budaya bangsa. Pengenalan, pemahaman terhadap budaya daerah bukanlah dimaksud untuk kembali ke masa feodalisme dan kedaerahan yang sempit, melainkan untuk memperkaya khasanah budaya nasional, mempererat kesatuan dan persatuan dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika serta berusaha mengungkap tabir kedaerahan dan menciptakan dialog antar budaya dan antar daerah melalui sastra sehingga kemungkinan dapat digunakan sebagai salah satu alat bantu untuk mewujudkan manusia yang berwawasan keindonesiaan.
        Profinsi Bali cukup kaya dengan sastra daerah yang  mengandung nilai-nilai luhur budaya. Sastra itu mencakup berbagai bentuk dan jenis seperti ungkapan tradisional, cerita prosa, pantuan rakyat dan cerita rakyat dalam bentuk geguritan.
    Geguritan I Dukuh Siladri merupakan salah satu sastra klasik Bali yang diambil dari sebuah lontar milik Gedong Kirtya Singaraja yang dikarang oleh Padanda Nj. Ngoerah November 1933. cerita ini ditulis dengan huruf Bali di atas daun lontar sebanyak 106 helai. Tiap-tiap helai ditulis bolak-balik kemudian lontar ini ditranslitrasikan menjadi 75 halaman.
        Cerita ini terdiri dari 764 bait, yang dibangun oleh delapan tembang seperti tembang-tembang Sinom, Durma, Amada, Qandang dan Genanti.
        Cerita geguritan I Dukuh Seladri dijumpai pula dalam bentuk prosa yang dikarang oleh Kamajaya pada tahun 1986 yang diterbitkan oleh U.P. Indonesia Yogya. Naskah ini berbentuk buku dengan panjang 20,4 cm, lebar 14,3 cm dan tebal 0,4 cm dengan jumlah halaman sebanyak 88 halaman. Pada cerita ini jika dilihat dari isi ternyata masih banyak kekurangannya jika dibandingkan dengan lontar yang tersebut di atas. Pada cerita yang terdapat pada cerita I Dukuh Siladri yang berbentuk prosa berakhir dengan matinya I Dayu Ratu. Sedangkan pada lontar Wy. Buyar menemukan ajalnya pada akhir cerita dan Kusumasari sembuh setelah diobati oleh seorang pendeta seperguruan dengan I Mudita.
        Bentuk dan jenis sastra itu sudah agak banyak yang diteliti, baik penelitian yang berasal dari tim-tim peneliti dari proyek penelitian bahasa dan sastra Indonesia dan Daerah Bali dan penelitian yang berasal dari Universitas Haluoleo dan Universitas lainnya. Namun yang nampak di Universitas Haluoleo jenis penelitian terhadap sastra daerah Bali hanyalah pengkajian dari segi struktur seperti tema/amanat dan alur atau unsur-unsur intrinsik dan unsur-unsur ekstrinsiknya misalnya moral, nilai pendidikan dan nilai budaya yang terkandung dalam cerita tersebut.
        Penelitian ini menggarap tentang ekspresi semiotik tokoh cerita. Dengan kata lain sesuai dengan konsep semiotik, penelitian ini berusaha mengungkapkan sesuatu yang terdapat di dalam cerita yang terdapat di balik tanda/lambang yang terdapat dalam cerita yang berkaitan dengan tokoh cerita seperti kehidupan tokoh, keadaan tempat tokoh, kedudukan dan peran tokoh dan tanda-tanda tertentu.
        Berdasarkan uraian di atas yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah bentuk ekspersi atau penampilan tokoh dalam pendekatan semiotik cerita rakyat Bali pada “Geguritan I Dukuh Siladri?”
        Ruang lingkup  masalah yang diteliti adalah ekspresi semiotik tokoh cerita rakyat Bali pada Geguritan I Dukuh Siladri. Dalam penelitian ini menggunakan metode deskripsi kuantitatif yaitu berusaha mengungkapkan tkoh sesuai dengan cerita tersebut.
        Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan bentuk ekspresi atau penampilan tokoh dalam pendekatan semiotik cerita rakyat Bali pada Geguritan I Dukuh Siladri. Dari deskripsi itu diperoleh gambaran mengenai bentuk penampilan ekspresi semiotik tokoh dalam cerita.
2.    PEMBAHASAN
A.    Teoritis Tentang Semiotik
        Semiotik memiliki tiga komponen dasar yaitu tanda, lambang, dan isyarat. Tanda selalu menunjuk/mengacu pada sesuatu hal yang nyata, misalnya benda, kejadian, tulisan, bahasa, tindakan, peristiwa dan bentuk-bentuk tanda yang lain. Misalnya petir selalu ditandai oleh kilat. Jadi, tanda adalah arti yang statis, umum, lugas, dan objektif. Lambang adalah sesuatu hal atau keadaan yang memiliki pemahaman si subjek kepada objek. Hubungan antara subjek dan objek terselip adanya pengertian sertaan. Misalnya, warna merah putih pada “sang saka Merah Putih” merupakan lambang kebangsaan bangsa Indonesia. Di samping itu warna merah pada bendera kita itu juga melambangkan semangat yang tak mudah dipadamkan, sedangkan warna putih melambangkan makna ‘suci, bersih, mulia, luhur, bakti, dan penuh kasih sayang’. Jadi, lambang adalah tanda yang bermakna dinamis, khusus, subjektif, dan kias dan majas. Isyarat adalah sesuatu hal atau keadaan yang diberikan si subyek kepada obyek. Dalam keadaan ini, si subjek selalu berbuat sesuatu untuk memberitahukan kepada si objek untuk memberitahukan kepada si objek yang diberi isyarat pada itu juga. Jadi, isyarat bersifat temporal (kewaktuan) (Santoso, 1193: 4-6).
        Pierce (2006: 145) membedakan adanya tiga jenis dasar tanda. Ada ‘ikonis’, di mana tanda mirip dengan apa yang diwakilinya (foto mewakili orang, misalnya); ‘indeksikal’, dimana tanda diasosiasikan dengan apa yang ditandai olehnya (asap dengan api, bercak dengan campak).
        Dikemukakan Junus (dalam Sugira Wahid, 2004: 96) bahwa semiotik merupakan lanjutan atau perkembangan strukturalisme tidak dapat dipisahkan dengan semiotik. Alasannya adalah karya sastra itu merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna. Tanpa memperhatikan sistem tanda, tanda dan maknanya, dan konversi tanda, struktur karya sastra tidak dapat dimengerti maknanya secara optimal.
B.    Analisis Tokoh
        Dalam cerita ini yang akan dianalisis yakni Dukuh Siladri, mMudita, sebagai tokoh utama.
a.    Kehidupan dan Perilaku Tokoh
            Sebuah cerita, termasuk cerita rakyat, pada dasarnya berkisah tentang hidup dan kehidupan tokoh-tokoh. Tokoh-tokoh itu sebenarnya tidak lain adalah manusia.
            Dilihat dari fungsinya, tokoh-tokoh yang terdapat dalam cerita rekaan (cerita prosa rakyat termasuk cerita rekaan sebab direka sedemikian rupa oleh si pengarang dalam hal ini anonim) lazimnya dibedakan atas tokoh utama sentral), tokoh bawahan dan tokoh tambahan.
            Tokoh utama adalah tokoh yang menjadi pusat kisahan, segala sepak terjang atau prilaku berasal dari dan bertumpu kepada tokoh utama. Siladri adalah tokoh utama dalam cerita Geguritan I Dukuh Siladri sebab alur kisahnya bergerak dari dan bertumpu kpeada I Dukuh Siladri.
1.    Siklus Kehidupan
            Dalam Geguritan I Dukuh Siladri peristiwa kealhiran dan masa kecil I Dukuh Siladri tidak diceritakan namun hanya masa dewasanya saja.
            Masa dewasa I Dukuh Siladri dilewatinya  diperantauan. Ia mengembara di hutan yaitu bersama anak dan istrinya di gunung Kawi tepatnya di Istana Mpu Dibyajaya. Sebab melihat adanya tanda-tanda bahwa dunia dipenuhi kejahatan,orang-orang tidak lagi mengenal kebenaran yang abadi sehingga ia berniat untuk mengasingkan diri untuk mencari kebenaran yang kekal. Pada sewaktu-waktu ia tiba di hutan yang lebat melewati bukit kerikil tiba-tiba hujan angin deras sekali anaknya bersendat-sendat menangis. Basah kuyup gemetar tiba-tiba guntur, siladri terkejut selanjutnya mendekati istrinya.
            Keesokan hari bila kembali menjelma, kaka supaya menjadi laki-laki, supaya bertemu berkeluarga, mendoakan, kamu menjadi laki-laki supaya bertemu berkeluarga, mendoakan. Sanggup melayani, kakak membayar hutang, kebaikan kamu sekarang.

            Kemudian istrinya merasakan bahwa perkataan suaminya itu menyedihkan dan kasihan terhadap anaknya masih kecil sudah menderita seperti itu harus kehujanan dalam hutan malam pula.
            Memang begitu orang menjadi manusia, baik buruk ditemukan begini filsafahnya, konon Ida Hyang Iswara, membuat manusia dahulu, bagus wirya sama dewa, tidak ada sakit hati.

            Hari sudah pagi burung-burung berkicau, seperti membangunkan, siladri dan istri bersiap-siap lagi berjalan menuju ke timur menuju gunung Kawi. Semua bunga sedang mekar, ramai tamulilingan, rasa gembira menyapanya dan terlihatlah istana yang megah, istana itu adalah istana Mpu Dibiyaja. Setibanya di depan istana, yang perempuan seketika ditahan istrinya sudah tak bernyawa. Siladri putus asa ia pun ingin menyusul istrinya.
            Seperti sekarang jikalau kamu masih cinta, cari kakak ajakmati, tetapi jangan terlalu lama, anakmu diikutkan, mumpung bersama diajak menderita, supaya jangan pisah, walaupun menemukan sengsara.

    Akhirnya siladri harus merelakan kepergian istrinya memperjuangkan hidupnya untuk mencari kebenaran.
            Kisah kehidupan dewasa I Dukuh Siladri yang dideskripsikan di atas memperlihatkan beberapa simbol-simbol dalam kehidupan yaitu :
            Pertama, kepergian I Dukuh Siladri  mengembara di gunung Kawi menyimbolkan tentang “pilihan hidup”. Manusia pada dasarnya harus menetapkan sendiri jalan hidupnya dalam hal ini untuk mencari kebenaran. Melihat keadaan dunia yang sudah dipenuhi dengan kejahatan dan sudah tak ada kebenaran maka ia harus memilih jalan hidupnya apa pun yang terjadi demi tercapainya dalam mencari suatu kebenaran yang konon di gunung kawi itu ada seorang guru yang patut dijadikan guru olehnya.
            Kedua, ungkapan-ungkapan si pencerita dalam menggambarkan hidup di dunia ini akan selalu mendapatkan hal-hal yang buruk, sakit hati, menderita dan serta mereka yang melambangkan cobaan hidup akibat perbuatan-perbuatan sebelumnya baik di kehidupan atau pada masa kecilnya.
            Ketiga, ungkapan-ungkapan I Dukuh Siladri kepada istrinya melambangkan kesetiaan pada cintanya.
b.    Kedudukan dan Peran Tokoh
            Sebagai seorang ayah dan manusia, I Dukuh Siladri sebagai tokoh yang memperlihatkan peranan yang cukup besar yaitu merawat dan bertanggung jawab terhadap anak-anak dan keluarganya.
            Setelah I Dukuh Siladri mendapatkan kebenaran dan tentang kehidupan manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan antara satu saling bergantung tidak dapat berdiri sendiri I Dukuh mengabaikan dirinya melalui perlakuan atau tindakan yang berhubungan dengan peran sebagai ayah dan manusia yang dalam kebenaran.
            Ayah memberitahu kamu, tingkah laku menjadi anak, jangan berani kepada leluhur, yang sudah dianggap guru, tiada yang tersebut guru. Guru rupakan guru wisesa,guru swadyaya selanjutnya.
            Yang empat memang benar, tua orang, tua dengan sastra, tua umur, tuang sang wiku, jangan kamu membantah kepada orang yang dikatakan tua, p atut dimintai kebenaran, oleh karena beliau mengetahui lebih dahulu.
            I Duh Siladri selalu mengajarkan anaknya untuk mendekatkan diri pada sang pencipta. Tidak pernah lalai mengingatkan, ia pun tak pernah lalai pula untuk melakukan hal itu agar anak-anaknya selalu ingat.
            Setelah anaknya tumbuh dewasa, prilaku yang cantik, I Dukuh Siladri merasa anaknya sudah pantas untuk menikah. I Dukuh Siladri sudah menyiapkan calon suami untuk anaknya konon anak saudaranya sendiri.
            Sudah menyatu pikirannya, I Dukuh Siladri lalu memanggil anaknya keduanya, anaknya datang menghadap, bersamaan duduk bersampingan, I Dukuh tersenyum berkata, anakku sayang berdua, seperti ayam terkurung, lama sudah binal bulunya sudah lebat.
            Sudah waktunya diadu
            Anaknya pun memahami keinginan ayahnya karena ayahnya sudah pernah pula menjelaskan bahwa mereka sudah ditunangkan sejak kecil. Anaknya pun menikah dan hidup bahagia.
            Sebagai seorang anak dalam ajaran harus membayar hutang. Hutang kepada orang tuanya slah satunya dengan cara mengabenkan orang tuanya. Karena orang tua menantu atau saudara I Dukuh Siladri sudah meninggal di desanya.
            Begini sebenarnya tingkah laku manusia menjadi anak, tak berhenti berbuat baik, kebaikan orang tuamu, sebab kebanyakan berhutang, kepada orang tua berdua, ayah dan ibu, dengan baik beliau menciptakan.
            Nah begitu berat orang memiliki anak, karena pantas seperti sekarang kamu berdua membayar hutang kepada leluhur sekarang, bersama pulang berdua, orang tua kamu diupacarai.
            Anak-anaknya pun mengikuti perkataan ayahnya dengan segala persiapan. Berangkatlah mereka dalam perjalanan mereka melewati lembah gunung dan hutan namun ditemani binatang-binatang yang tinggal di hutang dekat istana. Karena binatang itu selalu dipelihara oleh Mpu Siladri dan anak-anaknya.
            Dari uraian dan cuplikan cerita di atas jelas bahwa rasa tanggung jawab dan pengabdian terhadap anggota keluarga dapat merupakan simbol terhadap sinar kejelasan. Rasa tanggung jawab dan pengabdian seseorang terhadap keluarganya harus diwujudkan dalam bentuk tindakan. Begitu pula tanggung jawab terhadap lingkungan.
            Hubungan antara kedua anak itu terhadap binatang-binatang merupakan lambang atau simbol bahwa manusia, dengan hewan serta lingkungan saling membutuhkan.
3.    KESIMPULAN
            Adapun kesimpulan uraian di atas yaitu :
1.    Cobaan-cobaan yang kita hadapi adalah disebabkan oleh perbuatan kita sendiri
2.    Dalam hidup mampu menentukan pilihan hidup demi kebaikan
3.    Kesediaan dalam berkeluarga sangat penting
4.    Rasa tanggung jawab dan pengabdian harus diwujudkan dalam bentuk tindakan.

DAFTAR PUSTAKA


Eagleton, Terry. 2006. Teori Sastra Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta:  Jala Sultra.

Karyawan, I Ketut. 1991. Geguritan I Dukuh Siladri. Jakarta: Depdikbud.

Mantra, Ida Bagus. Tanpa Tahun. Tata Susila Hindu Dharma. Jakarta: Pansada Hindu Dharma Pusat.

Santoso, Puji. 1993. Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra. Bandung: Angkasa.

Sub Proyek Bimbingan Pengolahan dan Dakwah Agama Hindu dan Budha, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha, Departemen Agama Republik Indonesia. Tanpa Tahun. Hari Raya/ Perahunan Bagi Umat Hindu. Jakarta.

Wahid, Sugra, M.S. 2004. Kapita Selekta Kritik Sastra. Makassar: CV. Berkah Utami.



0 komentar:

estetik