makalah penelitian sastra angkatan 2005 universitas haluoleo
penulisan makalah ini dibawah bimbingan dosen pengasuh matakuliah Penelitian Sastra Ahid Hidayat

CITRA PENDIDIKAN PEREMPUAN DALAM PERKEMBANGAN SASTRA INDONESIA MODEREN

Oleh : La Ode Muh. Hamzah


1.    DASAR PEMIKIRAN

Sastra (kesusastraan) suatu bangsa dari waktu ke waktu selalu mengalami perkembangan, begitu juga halnya kesusastraan Indonesia. Berkembangnya kesusastraan suatu bangsa dapat dilihat dari hasil yang telah ditulis oleh para penulis karya sastra tersebut. Karya sastra itu dapat berupa puisi, prosa, maupun naskah drama. Dalam hal perkembangan kesastraan Indonesia, maka peran sejarah sastra tidak dapat dilupakan. Karena melihat perkembangan kesastraan, maka kita harus membuka sejarah, dalam hal ini sejarah sastra.
Sejarah sastra merupakan sebuah proses resepsi dan produksi estetik yang terjadi dalam pelaksanaan teks-teks sastra yang dilakukan terus menerus oleh pembaca, kritikus, dan penulis dalam kreatifitas sastra (Jauss dalam Pradopo, 2005: 9). Di dalam kesusastraan Indonesia, karya-karya sastra dari sejak Balai Pustaka sampai sekarang selalu mendapat tanggapan pembaca. Tanggapan mereka selalu berubah. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cakrawala harapan yang ditentukan oleh konsep-konsep sastra setiap periode. Di antara tanggapan yang muncul dari pembaca adalah dari angkatan Balai Pustaka sampai Angkatan 66, penulis karya sastra sangat didominasi oleh kaum lelaki. Sementara karya sastra yang ditulis oleh kaum perempuan, sangat minim. Akan tetapi pada zaman sekarang, karya sastra yang ditulis oleh kaum perempuan sangat menunjukkan peningkatan. Meningkatnya karya sastra yang ditulis oleh kaum perempuan, maka citra pendidikan kaum perempuan dewasa tidak boleh dikesampingkan. Dalam hal ini kaum perempuan ikut dalam serta mewujudkan perkembangan sastra indonesia moderen.
   Menulis sebuah karya sastra baik puisi, cerpen atau naskah drama,  merupakan hasil interpretasi yang dialami oleh penulis. Baik yang dialami sendiri, maupun dialami oleh orang lain. Dengan dasar pemikiran di atas, maka sebuah karya sastra tidak terlepas dari kehidupan pengarang. Sebagai contoh novel Siti Nurbaya yang ditulis oleh Marah Rusli adalah hasil interpretasi penulis dari kejadian di daerahnya. Dalam hal ini penulis melihat fenomena yang terjadi di daerahnya yaitu adanya kawin paksa. Menulis sebuah karya sastra pula membutuhkan pemikiran yang intelektual. Dalam hal ini menggunakan logika, dengaan menggunakan logika atau masuk akal, maka karya sastra tersebut dapat diterima di masyarakat (pembaca).
Melihat perkembangan kesastraan Indonesia dari zaman Balai Pustaka sampai Angakatan 66 didominasi oleh kaum lelaki seperti yang telah disebutka di atas. Bukan berarti karya sastra yang dihasilkan kaum perempuan tidak ada. Dapat dikatakan hal ini disebabkan kurang berwawasannya kaum perempuan tentang sastra. Tetapi di era Orde Baru dan era Orde Paling Baru, karya sastra yang dihasilkan oleh kaum perempuan menunjukkan peningkatan. Dengan meningkatnya karya sastra yang ditulis oleh kaum perempuan, maka dapat dikatakan meningkatnya pula daya sang kaum perempuan. Dalam hal ini dunia kesastraan. Meningkatnya sebuah karya sastra suatu bangsa, maka meningkat pula daya pikir bangsa tersebut.

2.    LANDASAN TEORI

 2.1    Pengertian Sastra

sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Semi, 1988: 8). Dari dasar pemikiran tersebut, dapat dikatakan bahwa sastra itu berasal dari manusia tentang manusia, tentang alam, dengan bahasa sebagai medianya.
Sastra juga adalah proses kreatif. Oleh sebab itu bila kita berbicara tentang sastra, mau tidak mau kita harus berbicara seni, karena suatu karya sastra tidak akan berdaya menyandang predikat tersebut manakala ia tidak memiliki unsur seni. Bila kita berbicara tentang seni dan karya seni terpaksa harus berbicara tentang manusia dan alam, karena seni itu lahir akibat adanya perpaduan harmonis antara manusia dan alam (Semi, 1988: 9).
Sastra ialah karya tulis yang jika dibandingkan dengan karya tulis yang lain berbagai ciri keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan, serta keindahan dalam isi dan ungkapannya. Ada tiga aspek yang harus ada dalam sastra, yaitu keindahan, kejujuran, dan kebenaran. Kalau ada sastra yang mengorbvankan salahsatu aspek ini, misalnya karena alasan komersial, maka sastra itu kurang baik (Sugono, 2007: 159).

 2.2    Kritik Feminis

pendekatan kritik feminis sesungguhnya berasal dari gerakan feminisme di dunia Barat yang berakar dari perjuangan untuk hak perempuan yang dimulai pada akhir abad XVIII, khususnya dengan terbitnya tulisan Mary Wollstonecraft yang berjudul A Vindication of the Rigts of Women (Pembenaran Terhadap Hak-hak Perempuan, 1792). Kritik feminis ini mempermasalahkan ‘ideologi’ yang berkepanjangan yang didomonasi dan berpusat pada (jenis kelamin) laki-laki ditambah dengan semacam persekongkolan laki-laki dengan sikap patriakalnya serta penafsiran laki-laki dalam sastra dan kritik sastra. Kritik feminis ini menyerang catatan-catatan kaum laki-laki tentang nilai dalam sastra dengan cara menawarkan kritik terhadap pengarang laki-laki dan peran laki-laki dalam karya sastra, selain itu mengutamakan pengarang kaum wanita

 2.3    Periodisasi Sastra Indonesia

pada dasarnya para tokoh sastra Indonesia yang membuat periodisasi di antaranya H.B. Jasin,Boejoeng Saleh, Nugroho Notosusanto, Bakri Siregar, dan Ajip Rosidi; pada umumnya periodisisi mereka menunjukkan persamaan pada garis besarnya, namun ada perbedaan kecil-kecilan juga, yaitu mengenai batas-batas waktu setiap periode dan penekanan ciri-cirinya (Pradopo, 2005: 14).
Periode Balai Pustaka (1920—1944)
Lahirnya angkatan Balai Pustaka sekitar tahun 1920 dan melemahnya kekuatan dan lenyapnya di sekitar tahun 1940.  Waktu terintegrasinya kekuatan (dan ciri-ciri) sastra Balai Pustaka antara 1925—1935. Di antara tahun-tahun itu terbit sebagian besar karya-karya roman Bali Pustaka yang kuat. Di antaranya: Salah Pilih (1928), Hulu Balang Raja (1934), Katak Hendak Jadi Lembu (1935), Salah Asuhan (1928), Pertemuan Jodoh (1933), Sengsara Memmbawa Nikmat (1932), Kehilangan Mestika (1935), Ni Rawit (1935), dan masih ada yang lain (Pradopo, 2005: 19). Yang termasuk tokoh-tokoh dalam Angkatan Balai Pustaka Merari Siregar, Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, dan masih banyak yang lain.
Periode Pujangga Baru (1930—1945)
Sesungguhnya para sastrawan pujangga baru telah menulis sajak-sajak di sekitar 1920, namun baru sekitar 1930 menunjukkan ciri-ciri periode atau angkatan yang kuat, seperti tampak dalam karya-karya Indonesia Tumpah Darahku (1929), Madah kelana (1931), Dian yang Tak Kunjung Padam (1932). Sekitar tahun 1930 gagasan Pujangga Baru mulai menyebar luas hingga akhirnya terintegrasi dengan terbitnya majalah Pujangga Baru pada bulan Juli 1933 (Pradopo, 2005: 19). Tokoh-tokoh yang termasuk angkatan Pujangga Baru Sutan Takdir Alisyahbana, Amir Hamzah, Armyn Pane, Sanusi Pane, Y.E. Tatengkeng, dan masih banyak yang lain. 
Periode Angkatan 45 (1940—1955)
Di sekitar tahun 1940 penulis Angkatan 45 mulai menulis karya-karya sastranya. Tanggal tertua yang terdapat dalam abtologi H.B. Jasin Gema Tanah Air adalah 28 Nopember 1942, tanggal dimuatnya sajak “Bunglon” karya Ashar. Sajak Chairil Anwar yang tertua bertanggal Oktober 1942 sajak “Nisan” dan “Kehidupan” Desember 1942. Periode 1940—1955 ini diisi oleh karya-karya sastra para sastrawan yang menulis pada permulaan tahun 40-an meskipun ada juga satu dua pengarang yang telah menulis pada tahun 30-an. Masa produktif angkatan ini antara 1943—1953, kurang lebih dalam masa sepuluh tahun. Selama waktu sepuluh tahun itu dapat dikatakan karya-karya sastra mereka belum dibukukan, melainkan terbit dalam majalah-majalah. Baru sesudah tahun 1950 karya mereka dapat terbit sebagai buku. Bahkan, karya Chairil Anwar, sastrawan yang dianggap sebagai pelopor Angkatan 45, baru dapat terbit sebagai buku sesudah ia meninggal, yaitu Debu Campur Debu (1949) dan Kerikil Tajam dan Yang Terhempas dan Terputus (1951). Sebagian besar karya sastra Angkatan 45 dan sastrawannya dapat terlihat dalam dua buku antologi H.B. Jasin, yaitu Kesusastaraan Indonesia di Masa Jepang (1948) dan Gema Tanah Air (1948)  (Pradopo, 2005: 20).
   Periode Angkatan 50 (1950—1970)
Dalam peride ini karya sastra adalah merupakan tulisan para sastrawan yang pada umumnya menulis pada awal tahun 50-an dan 60-an. Antara 1950—55 para sastrawan Angkatan 45 masih menerbitkan karya-karyanya. Sementara sastrawan-sastrawan baru mulai menulis. Angkatan sastra 50 ini dapat dikatakan terintegrasi antara 1955—1965.
Corak sastra periode 1950—1970 ini agak beragam karena adanya para sastrawan yang mendukung ideologi partai dan sastrawan bebas. Pada kurun waktu ini sastra Indonesia dipengaruhi oleh situasi sosial, politk, dan ekonomi. Pada kurun wakti ini ada peristiwa penting yaitu pemberontakan G 30S/PKI pada tahun 1965 yang berakibat disingkirkannya para sastrawan Lekra dan karya-karyanya yang berideologi Komunis. Namun, ciri-ciri sastra secara intrinsik belum berubah sampai tahun 1970 (Pradopo, 2005: 20—21)
Periode Angkatan 70 (1970—1984)
Para sastrawan yang karyanya memberi corak periode ini pada umumnya sudah menulis pada tahun 60-an, lebih-lebih sesudah 1965, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Danarto, dan Kuntowijoyo, telah menulis sejak awal tahun 60-an. Akan tetapi, karyanya yang penting, karya garda depannya, baru terbit sekitar tahun 1970. Masa integrasi Angkatan 70 ini adalah selama dekade 70-an, dengan karya-karya sastra Merahnya Merah, Ziarah, dan Kering karya Iwan Simatupang, Godlop, karya Danarto, cerpen-cerpen Budi Darma yang belum dibukukan, Khotbah Di Atas Bukit novel Kunto Wijoyo, novel-novel Putu Wijaya Telegram dan Stasiun serta dramanya Aduh, drama-drama Arifin C. Noer Kapai-kapi, dan sebagainya. Dalam bidang puisi, di antara yang menonjol adalah Sutardji Calzoum Bachri dengan O Amuk Kapak, karya Sapardi Joko Damono Akuarium, Mata Pisau dan Perahu Kertas,  Gonawan Mohamad Prelude, dan sajak-sajak Abdul Hadi W.M. dan Darmanto Jt (Pradopo, 2005: 21).

 2.4    Sastra dan Pendidikan

bahasa merupakan tanda simbol yang arbitrer. Dalam karya sastra, media yang digunakan adalah bahasa. Dalam hal ini sastra tidak terlepas dari bahasa. Bahasa Indonesia terlalu banyak digunakan sebagai alat untuk memberikan intruksi dan perintah dan kurang sebagai alat untuk menganalisa. Ini juga memperlambat pertumbuhan bahasa Indonesia ke arah kematangan intelektual. Betapapun berhasilnya kita membakukan bahasa Indonesia, tetapi bila guna utama bahasa itu bukan untuk dipakai sebagai alat berpikir, maka bahasa nasional kita itu akan tetap memperlihatkan kelemahan-kelemahan. Ini tidak berarti bahwa pembakuan itu tidak penting. Pembakuan dalam berbagai aspek bahasa perlu dilakukan.
Seseorang yang ingin memahai “kesiapaan” sastrawan tentu perlu membaca karyanya. Hal itu dapat dilakukan jika sastrawan itu mampu mengutarakan pikiran dan perasaannya dengan baik dan jelas. Kejelasan pengungkapan Khasanah batin sastrawan kedalam karyanya itu tentu bergantung pada kepiawaiannya memberdayakan bahasa sebagai medianya (Sugono, 2003: 114). Betapapun hebatnya gejolak imajinasi atau ide sastrawan, ia tidak akan mampu menuangkannya sama persis dengan apa yang dirasakannya. Hal itu boleh jadi disebabkan oleh minimnya penguasaan bahasa sastrawan dan/atau keterbatasan bahasa itu sendiri sebagai sarana. Selain itu, apa yang terungkap dalam karya itu bukanlah semata-mata hasil pengamatan sastrawan, tetapi apa juga yang dirasakan dan ditafsirkannya tentang objek yang dihadapinya. Karena itu, pendapat yang menyatakan bahwa seni merupakan tiruan alam tidak sepenuhnya benar (Sugono, 2003: 114).
Seperti halnya hubungan sastra dengan agama sastra juga tidak terlepas dari pendidikan yang di miliki oleh penulis. Ambilah perbandingan jika pendidikan penulis karya tersebut minim, maka hasil tulisan yang ditulisnya pun kurang memadai. Sebaliknya jika pendidikan yang dimiliki penulis tinggi, maka maka tulisan yang dihasilkan barangkali memuaskan, karena karya sastra merupakan hasil interpretasi apa yang telah dirasakan oleh penulis. Denagan pendidikan yang ia miliki, maka seorang penulis mampu mengolah hasil interpretasinya itu kedalam bentuk tulisan baik itu puisi, prosa maupun drama.

3.    Penutup

Melihat uraian periodisasi sastra di atas, terlihat jelas bahwa penulis yang mendominasi setiap angkatannya adalah kaum lelaki, sedangkan kaum perempuan tidak ada. Hal ini dapat diakibatkan oleh kurangnya interpretasi kaum perempuan dalam menggunakan bahasa sebagai media sastra. Indikasi lain yang muncul kurangnya penulis perempuan yang hadir dalam periodisasi sastra tersebut adalah tidak adanya ruang bagi kaum perempuan untuk mengapresiasi diri lewat tulisannya. Oleh karena itu, perlu di adakannya sebuah penelitian tentang citra pendidikan perempuan dalam perkembangan sastra Indonesia moderen.


Daftar Pustaka

Anwar, Khaidir. 1995. Beberapa Aspek Sosio-Kultural Masalah bahasa. Yokyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Pradopo, Racmat Djoko. 2005. Beberapa Teori Sastra,Metode Kritik,dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Semi, Atar. 1988. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya.
Sugono, Dendi. 2003. Buku Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.




1 komentar:

Gambling with a Bank Without Limits – a Guide to
How to play with sedabet a Bank Without Limits – a Guide to Gambling with a Bank Without 다 파벳 우회 주소 Limits. the 바카라 검증사이트 best gambling site for nba중계 보는곳 리치티비 online gambling 넷마블 토토 큐어 벳 with bank bonuses,



estetik