makalah penelitian sastra angkatan 2005 universitas haluoleo
penulisan makalah ini dibawah bimbingan dosen pengasuh matakuliah Penelitian Sastra Ahid Hidayat

Kode dalam Kinoho (Puisi Lama Masyarakat Tolaki)

Label:
          oleh : Eka Sufyati


ABSTRAK


              Penelitian yang berjudul kode dalam puisi Kinoho sebagai salah satu bentuk puisi lama  masyarakat Tolaki bertujuan untuk mendeskripsikan kode-kode dalam kinoho yakni memberikan kode semik (SEM), kode simbol (SIM) dan kode kultural (KUL atau kode budaya, penelitian ini diharapkan pula memberikan sumbangan terhadap usaha-usaha inventarisasi hasil-hasil karya sastra klasik daerah Tolaki, yang tampaknya sudah mulai dilupakan dan diabaikan oleh masyarakatnya.

              Bertolak dari tujuan tadi, maka penelitian ini mengkaji masalah “bagaimanakah deskripsi kode dalam puisi kinoho sebagai salah satu bentuk puisi lama masyarakat Tolaki”. Untuk lebih terarahnya dan terfokusnya pembahasan, maka masalah tadi dibatasi dalam ruang lingkup, yakni: (1) Kode semik (SEM) dalam kinoho sebagai puisi lama Tolaki, (2) kode simbol (SIM) dalam kinoho sebagai puisi lama Tolaki, (3) Kode kultural (KUL) dalam kinohoi sebagai puisi lama Tolaki.

              Untuk mendapatkan data dan informasi yang objektif, peneliti berusaha mencari dan menentukan informan sebagai sumber data, informan itu adalah masyarakat Tolaki yang berdialek Konawe, yang diharapkan mampu memberikan informasi tentang kinoho, di dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan teknik rekam, teknik simak dan catat, serta teknik pustaka. Untuk menganalisis data digunakan tahapan analisis transkripsi rekaman data, klasifikasi data, dan interpretasi data (kode).




              Pada hakikatnya pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur, merata materil dan spritual berdasarkan Pancasila. Hal ini berarti bahwa sasaran pembangunan meliputi segala aspek kehidupan manusia, baik yang sifatnya jasmani maupun rohani, yang mengarah pada perbaikan dan peningkatan taraf hidup bangsa Indonesia.

              Salah satu bidang sasaran pembangunan adalah bidang kebudayaan, baik kebudayaan nasional maupun  kebudayaan regional atau kedaerahan. Antara  kebudayaan nasional dengan kebudayaan daerah memang tidak dapat dipisahkan, sebab pada dasarnya kebudayaan daerah merupakan khazanah kebudayaan nasional yang memiliki andil yang cukup besar dalam rangka mendukung dan mengembangkan kebudayaan nasional tersebut.

              Bahasa dan sastra daerah merupakan salahs atu bagian dari kebudayaan daerah. Dengan bahasa dan sastra daerah, masyarakat pendukungnya dapat berkomunikasi dan berinteraksi dalam berbagai keperluan di antara mereka. Sebagai salah satu kekayaan budaya, bahasa daerah mendapat perhatian yang cukup besar dari pemerintah. Di dalam setiap program pembangunan (pelita), keberadaan bahasa daerah dan pembinaannya senantiasa mendapat tempat dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara, yang merupakan pola pengejawantahan dari cita-cita dan tujuan pembangunan yang multidimensi.

              Begitu pula dalam TAP MRP No. II/MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara untuk Pelita VI, pada salah satu poinnya, diuraikan “Pembinaan bahasa daerah perlu terus dilanjutkan dalam rangka mengembangkan serta memperkaya perbendaharaan bahasa Indonesia dan khazanah kebudayaan nasional sebagai salah satu unsur jati diri dan kepribadian bangsa, perlu ditingkatkan penelitian, pengkajian dan pengembangan bahasa dan sastra daerah serta penyebarannya melalui berbagai media”.

              Membicarakan kebudayaan, bidang kesusastraan tidak boleh dilepaskan begitu saja, karena kesusastraan memiliki hubungan yang erat dengan kebudayaan. Ada dua macam hubungan yang dimiliki keduanya, yaitu: pertama, sastra menggunakan bahasa sebagai medianya, sedangkan bahasa itu sendiri merupakan bagian dari kebudayaan; kedua, sastra merupakan bagian dari kesenian, sementara kesenian juga merupakan cabang dari kebudayaan.

              Eksistensi sastra sebagai bagian dari kebudayaan itu merujuk pada kemampuannya dalam merangkum berbagai misi humanis yang mengarah pada upaya memanusiakan manusia. Metode dan pendekatannya yang spesifik dengan mengutamakan unsur estetika dan etika berbahasa, mampu menarik minat manusia dari berbagai kalangan untuk menggandrunginya. Selain itu, ketertarikan tersebut disebabkan pula olah kodrat manusia yang selalu mencintai keindahan, termasuk keindahan dalam berbahasa. Dalam hal ini, para ahli telah menyimpulkan bahwa manusia adalah homo fabulans (makhluk bersastra).

              Lewat media bahasa, sastra dapat dengan leluasa membentangkan segala sendi dan perikehidupan manusia secara luas dan dalam. Tuangan pengalaman dalam sastra itu berisi cita kemanusiaan, cinta kasih dan ajaran lainnya yang sangat berguna bagi manusia dalam kehidupannya. Bahkan pada misi tertentu sastra dapat mengemban fungsi sebagai sendi kehidupan yang sifatnya intelektual, pendidikan rohani, serta hal-hal yang sifatnya personal maupun sosial.

              Kemampuan sastra mengemban semua misi itu, membuatnya digunakan sebagai alat pendidikan sejak zaman dahulu. Karya sastra yang dihasilkan oleh nenek moyang kita pada masa lampau membuktikan hal itu. Berbagai ajaran kehidupan baik untuk pembinaan pribadi maupun masyarakat, tertuang di dalam karya sastra klasik produk para leluhur bangsa Indonesia yang dapat ditemui di berbagai daerah di Indonesia.

              Hanya, yang menjadi masalah adalah kebanyakan dari karya sastra klasik itu belum dimunculkan di atas permukaan, sehingga terkesan sebagai barang langkah yang asing bagi masyarakat. Padahal, bahasa dan sastra daerah telah memperlihatkan perannya yang besar dalam penataan kebudayaan nasional. Maka yang perlu disadari sepenuhnya adalah pentingnya usaha penggalian, inventarisasi, dan pengembangan bahasa dan sastra daerah, yang tidak saja memiliki arti penting bagi masyarakat pendukungnya, tetapi juga besar manfaatnya untuk bangsa dan negara.

              Masalah lain yang perlu dipahami dan diantisipasi adalah nasib karya sastra lama itu yang tersebar di berbagai daerah yang semakin hari semakin terdesak oleh perkembangan zaman. Era informasi dengan peralatan yang super canggih semakin memperlancar arus globalisasi yang melanda hampir seluruh pelosok negeri. Pengaruh dari era globalisasi ini telah memperlihatkan dominasinya dalam merebut simpati masyarakat khususnya generasi muda. Akibatnya yang timbul dari situasi ini adalah kebudayaan lama, termasuk di dalamnya kesusastraan lama ditinggalkan begitu saja.

              Penyebarannya yang bersifat lisan sehingga tanpa dokumentasi dan penutur setia yang semakin berkurang karena usia tua, serta kurangnya minat generasi muda menjadikan sastra lama terancam kepunahan. Dan apabila ancaman itu tidak ditanggulangi dengan cermat dan cepat, maka kita akan menderita kerugian yang tak ternilai harganya. Karya sastra lama di daerah akan hilang tanpa bekas, padahal dalam sastra lama itu tersimpan mutiara kehidupan yang sangat berharga untuk diwarisi dan diwariskan pada generasi selanjutnya.

              Kekayaan muatan nilai dalam sastra lama tidak perlu disangsikan lagi. Manfaatnya amat banyak, seperti dikemukakan oleh A. Ikram, “Dengan mempelajari dan memahami karya sastra lama dapat dihayati pikiran serta ciri-ciri yang pada zaman dahulu menjadi pedoman nenek moyang. Di pihak lain untuk memperluas pandangan hidup kemanusiaan, memperluas pengetahuan tentang dunia luar di luar masyarakatnya” (dalam Esten, 1984: 6).

              Jelaslah, dengan menginventarisasi sastra lama dengan penelitian dan upaya lebih lanjut untuk mengkajinya, tak lain adalah upaya pencarian mutiara kehidupan yang tinggi nilainya. Dengan pengkajian itu, dapat disingkap tirai kehiduan masa lampau yang dapat dijadikan sebagai tempat bercermin bagi kehidupan sekarang. Bahkan lebih dari itu, dapat dijadikan tumpuan bagi langkah kita di masa yang akan datang. Rangkaian fungsi itu sepantasnya mendapat perhatian yang serius agar dapat memberikan manfaat bagi perwujudan masyarakat Indonesia seutuhnya.

              Satu dari sekian banyak hasil kesusastraan lama yang sudah mulai dilupakan oleh generasi penerusnya adalah “Kinoho”. Kinoho berasal dari kata “inoho” yang berarti ‘dijerat atau diikat’, atau ‘suara mengikat’. Selain itu dapat pula berarti ‘kiasan atau sindiran’. Oleh orang tua-tua, kinoho ini dianggap sebagai kesusastraan kebanggan. Berlomba-lomba orang menghafal syair-syairnya dan mempelajari makna yang terkandung di dalam kinoho yang dihafalnya tersebut.

              Kinoho biasanya disampaikan pada acara-acara adat seperti perkawinan, pesta rakyat, pelamaran, dan acara lainnya, yang berfungsi sebagai sarana hiburan sekaligus sebagai sarana pendidikan yang menyampaikan pernik-pernik ajaran yang berguna bagi manusia. Selain pada acara adat, dapat pula digunakan sebagai sarana untuk mengungkapkan isi hati, baik di kala jatuh cinta, patah hati dan dapat pula digunakan untuk menyindir seseorang agar seseorang sadar akan kesalahannya.

              Bahasanya yang indah serta nilai-nilai kehidupan yang sarat di dalamnya, lebih dari cukup untuk menobatkannya sebagai karya sastra yang bermutu tinggi. Tetapi ketinggian nilai dan mutu karya sastra peninggalan leluhur itu tidaklah sepenuhnya diketahui oleh para generasi muda, sehingga minat dan perhatiannya lebih banyak diarahkan kepada karya sastra modern yang memang lebih banyak tersedia di sekitarnya.

              Penelitian tentang sastra lama Tolaki, khususnya puisi memang telah banyak dilakukan oleh peneliti terdahulu. Namun,  penelitian yang mengkhusus pada kinoho sebagai salah satu puisi lama Tolaki, baik tentang bentuk, maupun tentang isi, masih kurang. Kalaupun ada, itu pun belum secara komprehensif mendeskripsikan segala unsurnya, baik struktur fisik dan batin, maupun tentang kode-kode yang digunakan dalam kinoho tersebut. Oleh karena itu, peneliti ingin ikut menyumbangkan sesuatu dalam upaya pendokumentasian kinoho sebagai salah satu kekayaan bentuk puisi daerah Tolaki dalam hal ini, mengenai deskripsi kode dalam kinoho.

              Kode yang dimaksud disini adalah perspektif kutipan, khayalan tentang struktur. Kita hanya mengetahui permulaan dan akhirnya. Dengan demikian, kode dalam penelitian ini memiliki arti telaah, yaitu mengalir pada apa yang ditulis dalam puisi itu. Ada tiga kode yang akan diungkap dalam puisi kinoho ini, yaitu kode semik (SEM), kode simbol (SIM) dan kode kultural (KUL). Dengan ketiga kode tersebut, seseorang mampu mengidentifikasikan dan mengklasifikasikan anasir-anasir bersama-sama dalam fungsi serba khusus.

              Penelitian ini mengambil satu sumber data yaitu puisi kinoho masyarakat Tolaki di Kabupaten Kendari. Di pilihnya puisi kinoho masyarakat Tolaki di Kabupaten Kendari. Dipilihnya puisi kinoho masyarakat Tolaki di Kabupaten Kendari sebagai sumber data, didasarkan atas pertimbangan: (1) puisi Kinoho diangkat dari puisi rakyat atau puisi lama yang diperkirakan memiliki sejumlah indikator sesuai dengan judul penelitian, (2) Bahasa yang digunakan adalah bahasa Tolaki dialek Konawe, (3) Kode-kode Roland Barthes belum pernah diterapkan peneliti-peneliti lain dalam rangka menelaah kinoho. Kode-kode yang dimaksud: kode semik (SEM) yang terdiri atas uraian tentang larik, bait, suku kata, dan pola persajakan dalam kinoho; simbolik (SIM), yang berfungsi melacak tema dan amanat kinoho; kultural (KUL), yang ditandai adanya budaya,sikap hidup yang tersurat dan tersirat.

              Dokumentasi dan inventarisasi sastra lama seperti itu akan sangat bermanfaat khususnya dalam upaya pelestarian dan pewarisan nilai-nilai luhur budaya nenek moyang kepada generasi penerus bangsa. Sebab dengan jalan pewarisan itulah, cita-cita untuk membentuk generasi penerus yang tanggap akan terwujud. Hal ini sejalan dengan kesimpulan yang diutarakan oleh Robson bahwa karya sastra itu merupakan pembentuk norma, baik pada orang sesamannya maupun untuk generasi selanjutnya (dalam Hartoko, 1986: 4).

A.     Pengertian Kinoho Secara Umum

              Kinoho merupakan puisi lama masyarakat Tolaki yang masih digunakan di dalam pertemuan-pertemuan adat, dan pertemuan-pertemuan rakyat. Kinoho yang masih dikenal oleh masyarakat Tolaki terdiri atas tiga jenis, yaitu: kinoho mbesadalo, kinoho agama, dan kinoho singgu. Ketiga jenis kinoho inilah yang akan dianalisis berikut.

1.       Kinoho Mbesadalo

              Kinoho mbesadalo adalah salah satu jenis kinoho pergaulan anak muda. Kata “mbesadalo” berasal dari kata “mbe + sa + dalo”, dari kata “ana dalo”. Mbe berarti ‘untuk’, sa berarti ‘sama’, dan dalo ‘anak’. Jadi kata “mbesadalo” berarti untuk anak sesama umur’. Dengan demikian, kinoho mbesadalo adalah salah satu jenis kinoho untuk pergaulan anak-anak muda, baik pemuda maupun pemudi (gadis.

2.       Kinoho Agama

              Kinoho agama adalah salah satu jenis kinoho yang biasanya dijumpai dan diungkapkan pada acara-acara yang bersifat ritual atau keagamaan. Seperti baca doa, selamatan, bersanji, dan tahlilan atau ta’ziah.Biasanya pada acara-acara tersebut, diawali dengan penyampaian nasihat dari pemuka agama yang di dalamnya diselipkan puisi kinoho.

3.       Kinoho Singgu

              Kinoho singgu adalah salah satu jenis kinoho yang khusus untuk menyinggung atau menyindir seseorang baik secara halus maupun secara kasar. Kata “singgu” berarti ‘singgung’ atau ‘tersinggung’ yang bersinonim dengan kata “sindir” yang berarti ‘menyindir’ atau ‘bersindiran’.

B.      Pengertian Kinoho Secara Khusus

1.       Kode Semik (SEM)

              Interpretasi kode semik mengacu pada unsur semik itu sendiri, yaitu unsur-unsur yang membangun sebuah puisi yaitu unsur larik/baris, suku kata dalam larik, bait, dan persajakan atau rima.

              Sebagaimana dikemukakan di atas, jumlah kinoho terdiri atas tiga jenis yaitu kinoho mbesadalo, kinoho agama, dan kinoho singgu. Kinoho mbesadalo biasanya disampaikan secara berbalasan atau berlawanan antara pemuda dan pemudi yang ingin mengutarakan maksud hati mereka, dengan didahului oleh pemuda selanjutnya dibalas pula oleh pemudi, sehingga dengan jalan demikian maksud mereka berdua dapat terwujud. Kinoho agama biasanya disampaikan oleh penghulu adat atau tokoh agama, di dalam acara-acara ritual atau keagamaan. Kinoho ini biasanya berupa petuah atau nasihat kepada manusia. Sedangkan kinoho singgu terdiri atas singgu alusu ‘sindiran halus’, dan singgu ‘kasara’ ‘sindiran kasar’, yang juga disampaikan dalam bentuk sindir menyindir antara pemuda dan pemudi atau sindiran kepada orang yang berbuat kesalahan tanpa disadari, dengan maksud saling menasihati atau saling mengingatkan apabila terjadi salah paham atau salah tingkah.

       Analisis kode semik ini akan menitikberatkan pada unsur-unsur yang membangun puisi. Unsur-unsur tersebut berupa unsur bentuk puisi. Dalam hal ini, larik, bait, dan pola persajakan atau rima.

2.       Kode SIM (Simbol)

              Interpretasi kode SIM ini dimaksudkan untuk mengungkap tema dan amanat pada puisi kinoho.

              Berdasarkan jenis kinoho yang ada, dapat dirumuskan beberapa tema. Rumusan tema ini merupakan intisariyang ditemukan dalam puisi kinoho.

§  Kinoho yang Bertema Percintaan (cinta kasih)

              Telah menjadi fitrahnya manusia untuk saling cinta-mencintai dan mengasihi, utamanya pada lawan jenisnya. Fitrah manusia ini tidak dapat dibendung, karena dengan sendirinya, perasaan seperti itu akan meluap melewati dinding-dinding hati manusia. Proses pertautan dua hati anak manusia biasanya diawali dengan perkenalan. Dari perkenalan, timbullah benih-benih kasih, yang biasanya dilegitimasi dalam institusi perkawinan, sehingga menyatukan dua hati yang dahulunya terpisah. Dalam ikatan perkawinan dua manusia itu akan berusaha memadu kasih demi kebahagiaan mereka. Akan tetapi, tidak jarang pula ada pasangan yang  perjalannya tidak mulus, berbagai benturan akan mereka hadapi, sehingga tidak jarang pula terjadi perpisahan atau perceraian.

              Fase-fase kehidupan seperti ini pada umumnya dijalani oleh manusia. Dan ini dapat pula kita temui di dalam bait-bait kinoho. Tema percintaan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kinoho, karena tema inilah yang banyak digemari oleh para muda-mudi.

              Kinoho yang termasuk dalam tema ini adalah “kinoho mbesadalo”. Kinoho mbesadalo ini adalah salah satu jenis kinoho pergaulan anak muda, baik muda maupun pemudi di dalam memadu cinta kasih, dengan berlawanan atau berbalas-balasan.

§  Kinoho yang Bertema Agama

              Kinoho yang termasuk kategori ini adalah kinoho agama. Sebagaimana telah disinggung terdahulu, kinoho agama merupakan jenis kinoho yang biasanya dijumpai dan diungkapkan pada acara yang bersifat ritual atau keagamaan, seperti baca doa, selamatan, bersanji, dan tahlilan atau ta’ziah. Penyampaiannya berupa nasehat oleh pemuka agama atau penghulu adat.



§  Kinoho yang Bertema Sindiran

              Kinoho yang bertema sindiran, biasanya isinya menyindir orang-orang yang mempunyai kesalahan, tetapi tidak  menyadarinya. Sindiran ini dimaksudkan agar orang tersebut dapat mengoreksi dan mengintrospeksi dirinya sendiri.

              Kinoho yang bertema sindiran ada dua macam, yaitu kinoho dengan sindiran halus dan kinoho dengan sindiran kasar.

C.     Kode KUL (Kultural)

              Kinoho merupakan puisi lisan Tolaki yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Tolaki. Sekarang ini kinoho sudah jarang kita temui, walaupun demikian masih terdapat beberapa orang yang menguasai puisi kinoho sekaligus mengetahui latar belakang kinoho itu sendiri.

              Berdasarkan makna dan artinya yang terkandung dalam kinoho, maka dalam interaksi sosial kinoho dapat diungkapkan dan ditampilkan sebagai alat yang dapat menghubungkan antara satu dengan yang lain. Pengungkapan tersebut dilakukan melalui bahasa  lisan dengan tujuan memuji, menghibur, mengejek, menghina, menasehati, melarang, dan memprotes. Pengungkapan kinoho terjadi mulai dari lingkungan keluarga, karib kerabat, tetangga, sampai pada masyarakat luas.

              Pengungkapan melalui kinoho itu untuk menghindari keterusterangan atau kelugasan arti dengan menjaga supaya lawan bicara tidak tersinggung, di samping itu, ada keindahan bahasa yang dirasakan baik pembiara maupun pendengar sebagai nilai sastra yang tinggi.

              Begitulah berlanjut hari demi hari sehingga terjadilah sindir-menyindir antara pemuda dan pemudi sampai berlanjut terus, dan akhirnya meluas pada pertemuan-pertemuan lain selain pertemuan menuai padi. Di antaranya melalui pertemuan-pertemuan adat atau pertemuan-pertemuan rakyat, seperti gotong royong, kerja bakti, pertemuan adat seperti peminangan, pesta perkawinan, bersanji, dan pemakaman atau tahlilan, dan sebagainya.

              Sifat sabar, merupakan sifat yang dimiliki oleh masyarakat Tolaki khususnya pemuda yang ingin mencintai seseorang. Walaupun pemuda harus menunggu lama bahkan sampai lepas dari tangan orang lain, dia bersedia menunggu. Selain kesabaran, juga ulet, dan etkun, serta setia memegang janji untuk saling mencintai. Sifat lain yang dimiliki oleh masyarakat Tolaki adalah rajin sehingga membenci orang yang malas. Di samping itu juga terdapat sifat merendah tidak mau menonjolkan atau membanggakan diri, walaupun kenyataannya demikian.

              Semua sifat atau keseluruhan sifat tersebut di atas tergambar pada bait-bait kinoho.

1.       Kode Budaya yang Tersirat

              Kode budaya yang diperoleh berdasarkan pemahaman isi puisi kinoho, secara keseluruhan dapat dirinci sebagai berikut :

(1)  Kenota dadiki hende ino

       Mano menggau nggo dadi:ka

       ‘Kalau tidak jadi sekarang

       Pada hari nanti kan jadi jua’


              Kutipan kinoho di atas mengandung sikap optimisme pemuda Tolaki di dalam mengerjakan atau menginginkan sesuatu, atau dapat pula dikatakan sikap sabar menunggu sesuatu yang belum diperoleh, walaupun belum didapatkan sekarang ini tetapi di suatu saat kan jadi jua.

2.    Kode Budaya yang Tersurat

              Kode budaya yang diperoleh berdasarkan deskripsi kinoho, dapat dikemukkan sebagai berikut :

§  Sikap Hidup

              Sikap hidup orang Tolaki yang tersurat dalam kinoho adalah (1) taku/ mootaku ‘takut’, (2) meteolu ‘sabar menunggu’, (3) kerja keras, (4) menjunjung tinggi adat.

              Tak/motaku ‘takut’ merupakan prinsip pemuda Tolaki untuk memegang janji. Takut dalam arti pantang untuk mengingkari janji. Apabila janji telah terucap takkan mungkin diingkari lagi. Di samping itu, perasaan takut ini dimaksudkan juga dengan menghargai. Menghargai dalam arti apabila telah mengucapkan janji untuk sehidup semati, tentu kita akan menghargai janji kita sendiri, di samping itu kita menghargai/menghormati orang yang kita janjikan baik keluarganya, karib kerabatnya, maupun diri seorang gadis. Jadi takut di sini berarti takut baik terhadap reaksi terhadap ancaman fisik maupun sebagai rasa takut akibat kurang enak suatu tindakan. Dengan demikian takut bukan berarti takut terhadap hal-hal yang menakutkan melainkan takut yang lebih bersifat hormat.

              Untuk jelasnya dapat dilihat pada kutipan berikut :

       Koro bite batako

       Inea bata-bata

       Kumokea metako

       Maku tetaku-taku


       ‘tidak usah ragu-ragu

       Tidak usah bimbang

       Aku telah tetapkan

       Dan takut akan ingkar janji’


              Meteolu ‘menunggu’ merupakan sikap hidup orang Tolaki yang sabar menunggu apabila ada sesuatu yang diinginkannya, apalagi yang dinginkannya itu adalah sungguh diharapkan. Seperti pada larik kinoho : “keno tadadiki ine waipodemu, kuolui ari ine kaeno tono” Kalau tidak jadi di waktu mudamu, kutunggu lepas dari tangan orang’.

              Kuolui ‘kutunggu’ atau ‘saya menunggu’ merupakan pernyataan kesetiaan atau kesabaran orang Tolaki di dalam menanti yang mau dicintai lepas dari tangan orang atau dicampakkan orang lain pun dia tetap bersedia menunggunya.

              Hal ini dipertegas pula dengan kinoho : “Kuolui keno tebinda, hanumuika pemberahi-rahianggu” ‘Aku menunggu engkau lepas/bebas hanya kepadamu aku mengharap’. Pomberahi-rahianggu ‘mengharap’ bukan berarti dia mengemis tetapi merupakan pernyataan yang sangat dalam supaya gadis yang ingin dicintainya betul-betul yakni kalau memang dia sungguh-sungguh ingin mencintainya.

              Sikap hidup kerja keras tergambar pula dalam kutipan berikut :

       Ana nda: tinongga

       Ari la:uleno

       Mobue-bue galu

       Mobale ulu-ulu


       ‘Sebagai seorang diri

       Yang hidup sendirian

       Harus mengayun tangan

       Membanting tulang’


              Dalam rangka memperoleh sesuatu, seorang yang hidup sebatang kara, harus bekerja keras mengayun tangan dan membanting tulang demi mencapai hasil yang diinginkan.

              Sikap hidup menjunjung tinggi adat orang Tolaki seperti pada kinoho berikut:

       La:ito moramba

       Merambi mo:oliro

       Tobangu sara

       Towalu holo:io


       ‘Sedang mempersiapkan

       Segala sesuatunya

       Untuk membawa adat/mengangkat adat

       Mengiring maksud suci’


              Jadi, orang Tolaki apabila ingin menikah dia harus mempersiapkan segala sesuatunya demi mencukupi persyaratan yang dikehendaki oleh peraturan adat Tolaki, dalam arti sebagai wujud penghargaan terhadap adat yang ada, olehnya itu segala persyaratan menurut ketentuan adat yang ada haruslah mencukupi segala sesuatunya agar adat yang ada haruslah mencukup segala sesuatunya agar adat tetap terjunjung tinggi sebagai salah satu wujud tradisi yang dijunjung tinggi.


DAFTAR PUSTAKA



Esten, Mursal. 1984. Sastra Indonesia dan Tradisi Subkultur. Bandung: Angkasa.


Hartoko, Dick, dkk. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Jakarta: Pustaka Prima.




0 komentar:

estetik